Minggu, 30 Agustus 2009

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANJIR

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANJIR DI JAKARTA
Jumat pagi 2 Februari itu saya yakin sekali kalo Jakarta bakal banjir seperti tahun 2002, hujan yang tidak kunjung reda, bahkan semakin kenceng pagi itu. Ternyata hujan hari itu merupakan curah hujan tertinggi di Jakarta 10 tahun terakhir. Mulai dari jam 10 malem tanggal 1 Februari sampe jam 12 siang esok harinya. Keyakinan saya terbukti waktu saya menyalakan tipi pagi itu. Banjir dan kemacetan terjadi dimana-mana. Saya putuskan pagi itu gak usah masuk kantor, meski kalo jalan kaki cuman 6-7 menit :D. Sambil baca peta Jakarta buatan Pak Gunter, saya mencari lokasi-lokasi banjir yang disebutkan oleh stasiun televisi. Hmmmm, ternyata menarik sekali distribusi lokasi banjir tersebut. Faktor secara umum dibagi menjadi dua bagian yang terkait satu sama lain, yaitu faktor fisik dan faktor manusia. Faktor fisik sederhana dapat digunakan siklus hidrologi.

Hujan deras dengan curah hujan tinggi, menghasilkan banjir kiriman dari daerah Puncak yang kabarnya ’gundul’, mengalir ke wilayah Jakarta menuju ke Laut Jawa. Untuk mencapai Laut Jawa, aliran air ini mengalir melalui sungai-sungai meander yang dibeberapa tempat terhalang sampah, drainease buruk, pembangunan saluran air yang parsial, perubahan fungsi lahan, plus ketinggian muka air laut yang sejajar pada beberapa tempat, menghasilkan aliran permukaan yang tidak beraturan dan tentunya banjir...


CURAH HUJAN
Ada cerita saat banjir kemaren bahwa, seorang teman apartemennya ikut kebanjiran gara-gara saluran air di kamar mandinya mampet. Nah kalo airnya dikit tentunya tidak sampai banjir kan...?! :D. Meski hujan merupakan salah satu sumber air penyebab banjir dipermukaan bumi (selain luapan air laut, bendungan jebol, pencairan glesier, dst), tetapi biasanya hujan yang paling sering disalahkan, sehingga manusia kemudian menciptakan alat pengukur curah hujan. Alat ini biasanya ada dalam stasiun pengamatan cuaca. Tidak cuman satu alat, tapi banyak alat yang dipasang tersebar pada suatu daerah. Hasil pengamatan beberapa stasiun itu kemudian digabungkan hasilnya menggunakan metode polygon thiessen untuk kemudian menghasilkan peta curah hujan dalam satuan milimeter. Curah hujan yang di atas normal tentunya berpengaruh sekali terhadap peluang banjir. Berhubung curah hujan tertinggi di Indonesia terjadi selama bulan Februari-Maret, tentunya banjir biasanya terjadi dalam periode ini.

SALURAN AIR
Banjir di Jakarta sebenernya terjadi sejak lama, Jaman Jakarta masih bernama Batavia pun sudah terjadi banjir. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Soepardijono Sobirin mengatakan bahwasannya sekitar 40 persen dari luas Kota Jakarta ketinggiannya hampir sama dengan permukaan air laut. “Meskipun tidak ada pemukiman, tetap saja banjir, termasuk banjir siklus lima tahunan seperti sekarang ini”. Kondisi ini, lanjut Sobirin, diperparah dengan penataan drainase yang parsial. Di daerah Kalapa Gading, misalnya, banyak pengembang yang menawarkan perumahan elite. Namun, tidak ada sinergi antara drainase perumahan yang satu dengan perumahan lainnya. “Akibatnya, air yang mengalir hanya di situ-situ saja. Tidak bisa keluar. Bayangkan kalau kemudian terjadi hujan lebat,” kata Sobirin.

Di Jakarta, membuat selokan yang baik itu bukan merupakan budaya atau patokan tata aturan pembuatan bangunan. Rumah-rumah pada daerah pemukiman padat penduduk non-perumahan biasanya memiliki saluran air seadanya. Ukuran satu kilan tangan dipakai untuk menangani limbah rumah tangga beberapa puluh rumah. Belum lagi warga yang membuat sambungan ’buk’ rumah dengan jalan tanpa memperhatikan hubungan antar selokan, sehingga seringkali tampak ada selokan menggenang untuk tempat sampah dan selokan yang kering kerontang yang dijadikan tempat bakar sampah dalam satu rute. Jangan salah ya, gedung2 bertingkat di Jakarta pun sering tidak memperdulikan kualitas gorong-gorong di depan gedung tersebut, misalnya genangan air di daerah Balai Kartini yang selalu muncul disaat hujan.

Yang paling parah, tegas Sobirin, adalah rusaknya daerah aliran sungai (DAS). Jakarta memiliki delapan DAS, yakni Das Cisadane, Angke, Ciliwung, Rukut, Sunter, Cilincing, Cikarang, dan Bekasi.
Yang paling besar adalah Cisadane dan Ciliwung. “Yang kecil-kecil semakin kerdil dan hilang karena pemukiman. Bantaran sungai semakin hilang karena diduduki pemukiman. Para pengembang bermunculkan tanpa melihat aliran air,” kata Sobirin. Sobirin mengatakan, semestinya, 30 persen dari total luas DAS seperti Ciliwung dan Cisadane itu berbentuk hutan. Maraknya alih fungsi di beberapa daerah memberikan andil besar membuat bencana banjir. Pasalnya, kemampuan alam menampung air menjadi sangat terbatas.

MEANDERNYA SUNGAI JAKARTA
Ada 13 sungai dan anak sungai yang mengalir ke Jakarta. Sungai ini sebagian besar polanya meander, berkelak-kelok. Anda bisa cek pola meander ini pada peta Gunter mulai dari Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Kali Krukut, dst atau wilayah2 yang disebutkan sebagai lokasi banjir di Jakarta. Sungai ini otomatis akan membuat aliran air lebih lambat dan lama tergenang sebelum mencapai titik outlet.
Kalo pernah liat kali Krukut, sungai ini masuk kategori anak sungai yang bentuknya meander juga. Lebarnya di daerah perumahan warga wilayah Bangka sekitar 5 meter, tapi jangan salah Kali Krukut ini untuk wilayah Cilandak, ada yang lebarnya hanya 2 meter. Menciut melebar menciut melebar, yang tentunya banyak terdapat jebakan-jebakan air (pothole) didalamnya.

Jebakan air ini memiliki volume air yang besar, dan siap muntah diwaktu hujan dan menghasilkan debit yang cukup besar untuk menjadi banjir. Sungai ini juga ini ditugaskan untuk menangani aliran limbah rumah tangga dan industri wilayah yang menurut saya cukup banyak. Jadi sepanjang musim penghujan normal, muka airnya termasuk tinggi. Jadi wajar kalo ada hujan agak lamaan dikit dijamin bikin banjir, misalnya pada jembatan pada daerah jalan Kapten Tendean yang menghubungkan Kuningan dengan Blok M. Dan jangan salah, pada sempadan atau dataran banjirnya pun ada beberapa perumahan elit, ya tentunya jadi langganan banjir.


Kali Krukut yang merupakan anak sungai sering meluap ke Jalan Kapten Tendean-Kuningan Barat. (Peta Gunther, 2004 dan GoogleEarth 2007).
Untuk mengurangi tinggi debit sepanjang meander ini ya sebagai solusinya mungkin perlu dibuat sudetan sepanjang meander-meander, seperti yang dilakukan pada meander-meander pada Sungai Bengawan Solo. Dengan harapan aliran air akan berjalan lebih cepat dan tidak menggenang kelamaan.

PEMBANGUNAN KOTA
Banyak penelitian yang menunjukkan fenomena perubahan penggunaan lahan sebagai pemicu banjir, terutama perubahan lahan ke arah permukiman.
Kalo kembali ke peta Gunter, tampaknya sih solusi banjir kanal yang didengungkan VOC itu gak cukup lagi. Daerah banjir itu umumnya terjadi sepanjang sempadan meander-meander sungai yang sudah beralih fungsi menjadi perumahan, fasilitas umum, rumah sakit, dst. Bisa Anda cek langsung penggunaan lahan pada wilayah sepanjang Sungai Ciliwung, meski hanya pake peta Gunter sekalipun akan tampak ruas-ruas jalan pemukiman yang sebenarnya masuk dalam batas wilayah sempadan. Perlu diingat pula kalo istilah lain dari sempadan sungai adalah ’dataran banjir’. Resiko orang tinggal di dataran banjir, ya.... kebanjiran.

Dataran banjir yang ada disepanjang meander Kali Ciliwung. (GoogleEarth, 2007)

Tata penggunaan lahan yang sudah kadung daerah Jakarta, diistilahkan seperti membuat telor ceplok di wajan penggorengan dan membentuk kerak telor yang tidak beraturan bentuknya (kompas.com). Rawa diembat, sempadan diembat, lahan hijau diembat. Resapan air di-’delete’, masih mending kalo lokasi-lokasi tersebut bisa di-‘cut’ lalu di‘paste’ di tempat lain. Tentunya akan sulit buat pemerintah DKI Jakarta mengubah lahan-lahan terbangun yang kadung ’mateng’, kembali menjadi wilayah resapan, kawasan hutan kota, dst. Apalagi mengganti fungsi rawa yang telah menjadi penjinak banjir Jakarta berabad-abad lamanya (...).
Secara teori sih perubahan penggunaan lahan rawa ke permukiman atau perkantoran sih oke, tapi seringkali syarat mutlaknya kurang diperhatikan, yaitu saluran air yang ’sempurna’.


SAMPAH
Lahan terbangun yang telah mencapai 80% dari seluruh wilayah DKI Jakarta, membuat warga Jakarta yang tinggal dipemukiman padat biasanya kesulitan untuk membuang sampah. Maka, selokan atau sungai pun menjadi media untuk tempat buang sampah atau bakar sampah, bahkan itu menjadi semacam kebiasaan. Saya sering temui anak-anak kecil yang malah disuruh buang sampah di selokan oleh orang tuanya. Tentunya harapan para pembuang sampah bahwa sampah yang dibuang di selokan itu akan mengalir ke sungai tidak terjadi karena apa yang mereka buang itu malah menambah buruk saluran air yang memang sudah buruk. Tentunya ini disebabkan karena beragamnya asal muasal daerah dan karakter warga Jakarta. Ada yang kaya tapi ’ndeso’, misalnya tampak dari mobil2 niaga tahun terbaru tapi buang sampahnya di jalan, ada yang memang di kampungnya buang sampah di kali merupakan kebiasaan, dst. Ini cukup mengerikan, tapi itulah yang terjadi. Di sepanjang Sungai Ciliwung, sampah dalam bungkusan plastik menggunung.

Pernah sebuah stasiun tivi menayangkan volume sampah yang ada di pintu air Manggarai dapat dinaiki oleh pemulung saking banyaknya. Padahal kedalaman pintu air ini dapat mencapai 10 meter dan menjadi indikator waspada banjir di Jakarta. Coba bayangkan dalam sampah yang tertahan pada pintu air ini. Saya gak mau naif yah, bisa jadi saya menjadi salah satu kontributornya secara tidak langsung. Memang ada tukang sampah yang ngambilin sampah tiap hari, tapi saya juga nggak tanya sampah tersebut dibuang kemana, itu kan tanggung jawab tukang sampah itu, hehehe...
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja
(Karya : Iwan Fals-Album Opini 1982)

SOLUSI
Kalo yang baru cari-cari rumah/kontrak,
Pilih perumahan yang jauh dari sungai dan anak sungai. Luapan banjir ini biasanya berasal dari sungai dan anak sungai. Biasanya yang terkena pertama kali adalah daerah sempadan sungai. Kadang juga ada perumahan bebas banjir yang ikut-ikut kebanjiran, gara-gara perumahan tetangga yang kebanjiran buang air (dipompa) melewati gorong-gorong perumahan bebas banjir.
Pilih daerah yang berkontur tinggi. Kontur tinggi ini bisa dipilih pada daerah-daerah Selatan Jakarta, seperti Depok, Kelapa Dua, Bogor dst. Kontur yang tinggi biasanya tidak mungkin ada pada daerah sempadan sungai. Namun demikian, meski tinggal dekat sungai, tapi kalo sungainya berbentuk lembah sungai yang dalam, ya bakal aman. Contohnya beberapa lokasi di dekat Kali Pesanggrahan, memiliki lembah sungai yang dalam.
hindari daerah-daerah yang berdekatan dengan bekas rawa. Gampangannya daerah berjudul 'Rawa', misal Rawa Buaya, Rawa Bebek, dst. Dari namanya aja udah ketahuan kalo itu daerah rawa yang alih fungsi :D. Biasanya perubahan penggunaan lahan rawa menjadi daerah terbangun, tidak diimbangi dengan pembuatan saluran air yang benar-benar sesuai. Padahal pembangunan saluran air pada daerah bekas rawa ini merupakan syarat mutlak untuk konservasi dan pengganti fungsi rawa tadi. Hasilnya banjir di daerah bekas rawa maupun sekitarnya, misal daerah Kelapa Gading.
Kalo yang udah kadung beli rumah daerah banjir, beli aja kasur pompa model DRTV. Kasur ini bisa dilipat dalam ukuran kecil sehingga mudah disimpan dan gak makan tempat. Kalo banjir tinggal dipompa untuk ngungsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar